Pages

Subscribe:

Saturday, September 17, 2011

Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia

Supermarket telah hadir di berbagai kota utama di Indonesia selama tiga dekade terakhir.
Akan tetapi, pada awal pemberlakukan liberalisasi sektor ritel pada 1998, pengelola
supermarket asing mulai merambah masuk pasar dalam negeri, yang menimbulkan
persaingan sengit dengan pengelola supermarket lokal. Beberapa kelompok mengklaim
bahwa pasar tradisional merupakan korban nyata persaingan tajam tersebut yang berdampak
pada hilangnya pelanggan pasar tradisional akibat membanjirnya produk-produk bermutu
dengan harga murah dan lingkungan perbelanjaan yang lebih nyaman yang disediakan
supermarket. Karena itu, muncul desakan agar ada pembatasan pembangunan supermarket,
khususnya di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan pasar tradisional.
Studi ini mengkaji kebenaran klaim tersebut dengan mengukur dampak supermarket
pada pedagang pasar tradisional di pusat-pusat perkotaan di Indonesia. Metode utama
yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, sedangkan metode kualitatif
dilakukan untuk menyingkap kisah di balik temuan-temuan kuantitatif. Metode
kuantitatif menggunakan metode difference-in-difference (DiD) dan ekonometrik. Metode
kualitatif mencakup wawancara mendalam dengan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh
Indonesia (APPSI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), pengelola pasar
tradisional, pedagang pasar tradisional, pengelola supermarket, dan pejabat dari badanbadan
pemerintah daerah (pemda) yang terkait.
Lima pasar tradisional dipilih sebagai kelompok perlakuan, sementara dua pasar
tradisional lainnya dipilih sebagai kelompok kontrol. Kerangka sampel ini dibuat untuk
merepresentasi pasar tradisional di daerah perkotaan di Indonesia. Kerangka sampel juga
dibuat untuk menjamin bahwa kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki
karakateristik yang relatif sama, kecuali kedekatannya dengan supermarket. Dua pasar
kelompok perlakukan dan satu pasar kontrol berlokasi di Kota Depok, yang berada tidak
jauh dari Jakarta, sementara lainnya berada di kota Bandung, ibu kota Provinsi Jawa
Barat. Para pedagang yang diseleksi secara acak di pasar-pasar ini diwawancarai dengan
menggunakan kuesioner. Para pedagang tersebut mewakili pedagang pasar tradisional.
Selain itu, SMERU melakukan 37 wawancara mendalam dengan para pemangku
kepentingan tersebut di atas.
Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh pemda setempat, biasanya di
bawah kendali Dinas Pasar. Akan tetapi, sejumlah kecil pasar tradisional dikembangkan
melalui kerja sama antara pemda dan perusahaan swasta, umumnya di bawah skema
bangun, operasi, dan transfer (build-operate-transfer/BOT). Perusahaan swasta kemudian
membayar setiap tahun kepada pemda sejumlah dana yang telah disepakati.
Pengelola pasar, yang diangkat oleh Kepala Dinas Pasar, mengelola pasar milik pemda. Di
beberapa kasus, pengelola pasar bertanggung jawab atas beberapa pasar sekaligus. Dinas
Pasar menetapkan target retribusi pasar tahunan pada setiap pasar tradisional miliknya.
Tugas utama yang diemban setiap kepala pasar adalah pemenuhan target yang sudah
ditetapkan. Kegagalan pemenuhan target tidak jarang berbuntut pada pemberhentian
langsung kepala pasar. Karena itu, penarikan dana retribusi dari para pedagang menjadi
ajang perhatian utama dari setiap kepala pasar daripada pengelolaan pasar yang lebih baik.
Komoditas utama yang diperdagangkan di pasar tradisional mencakup sayur segar, yang
dijual oleh seperlima pedagang, disusul makanan lain dan aneka minuman. Sebaliknya,
hanya terdapat 7% pedagang yang menjual beras, bahan pangan pokok masyarakat.
Hanya sepertiga pedagang memiliki pelanggan rumah tangga sebagai pelanggan
utamanya. Ketika ditanya saingan utama, 33% pedagang mengatakan pedagang lain
dalam pasar tersebut, 27% menyebut supermarket, 18% menyebut pedagang kaki lima
(PKL), dan 13% merasa tidak punya saingan. Meskipun sebagian besar pedagang mampu
mengidentifikasi pesaing-pesaingnya, strategi riil dalam menghadapi persaingan sangat
minim. Hanya 20% pedagang yang memiliki kebijakan jaminan mutu dan 13% lainnya
menyediakan potongan harga bagi pelanggan setianya, sementara 38% mengandalkan
sopan santun pada pelanggan, dan hampir 10% tanpa strategi sama sekali.
Dalam hal mata rantai pasokan, 40% pedagang menggunakan pemasok profesional,
sementara 30% lainnya mendapatkan barangnya dari pusat-pusat perkulakan. Hampir
90% pedagang membayar tunai kepada pemasok. Keadaan ini berarti bahwa pedagang di
pasar tradisional sepenuhnya menanggung risiko kerugian dari usaha dagangnya. Ini
berbeda dengan supermarket yang umumnya menggunakan metode konsinyasi atau
kredit. Terkait dengan modal usaha, 88% pedagang menggunakan modal sendiri yang
berarti minimnya akses atau keinginan untuk memanfaatkan pinjaman komersial untuk
mendanai bisnisnya. Hal ini bisa menjadi hambatan terbesar dalam memperluas kegiatan
bisnis mereka.
Secara rata-rata, pedagang, baik dalam pasar perlakuan atau pasar kontrol, mengalami
kelesuan dalam kegiatan perdagangannya selama tiga tahun terakhir. Dalam wawancara
mendalam, para responden mengungkapkan bahwa penyebab utama kelesuan adalah
lemahnya daya beli pelanggannya akibat melonjaknya harga BBM, serta meningkatnya
persaingan dengan PKL yang memenuhi lahan parkir dan area lain sekitar pasar. Dalam
wawancara mendalam terungkap bahwa penyebab ketiga kelesuan kegiatan dagang di
pasar tradisional adalah supermarket. Temuan ini terutama bersumber dari pedagang
kelompok perlakuan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa para pedagang di pasar tradisional
di Pamoyanan menyebut supermarket sebagai penyebab tunggal kelesuan bisnis. Dalam
studi ini, pasar tradisional Pamoyanan merupakan satu-satunya pasar di mana mayoritas
pelanggannya adalah rumah tangga kelas menengah dan pasar ini tidak mengalami
permasalahan dengan PKL.
Temuan analisis kualitatif menunjukkan bahwa supermarket memang memberi dampak
negatif pada peritel tradisional. Terlebih lagi, temuan analisis ini menunjukkan bukti
bahwa pasar tradisional yang berada dekat dengan supermarket terkena dampak yang
lebih buruk dibanding yang berada jauh dari supermarket. Namun demikian, hal ini
terutama disebabkan oleh lemahnya daya saing para peritel tradisional. Para pedagang,
pengelola pasar, dan perwakilan APPSI menyatakan bahwa hal penting yang harus
dilakukan untuk menjamin keberadaan pasar ini adalah dengan memperbaiki
infrastruktur pasar tradisional, penataan ulang para PKL, dan penciptaan praktik
pengelolaan pasar yang lebih baik. Kebanyakan para pedagang secara terbuka
mengatakan keyakinan mereka bahwa kehadiran supermarket tidak akan menyingkirkan
kegiatan bisnis mereka bila persyaratan di atas terpenuhi.
Analisis dampak kuantitatif menemukan hasil statistik yang bervariasi untuk beberapa
indikator kinerja pasar tradisional, seperti jumlah keuntungan, pendapatan, dan jumlah
pegawai. Dari indikator tersebut, ditemukan bahwa supermarket secara statistik hanya
berdampak pada pasar tradisional melalui jumlah karyawan yang bekerja di pasar
tradisional. Data tersebut menunjukkan bahwa pedagang tradisional mau mempekerjakan
lebih banyak pegawai bila lokasi pasar tradisional berada lebih jauh dari supermarket,
demikian pun sebaliknya. Para pedagang tradisional bersaing dalam suasana ”persaingan
yang nyaris sempurna” dan strategi mereka untuk mempertahankan laba rutin mencakup
penambahan jumlah dan ragam produk yang dijajakan dan pengurangan biaya–termasuk
biaya pekerja.
Juga ditemukan bukti adanya pedagang-pedagang yang gulung tikar selama tiga tahun
terakhir dengan alasan yang lebih kompleks daripada sekedar masuknya supermarket saja.
Kebanyakan terhentinya kegiatan berdagang terkait dengan masalah internal pasar atau
masalah pribadi. Selain itu, para pedagang yang menjual produknya terutama kepada
pelanggan nonrumah tangga dan telah membangun hubungan yang erat dengan
pelanggan untuk waktu yang lama, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tetap
bertahan.
Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif tersebut di atas lebih lanjut dipertegas dengan
kisah sukses sebuah pasar tradisional di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) di
Tangerang, yang tetap memiliki pelanggan meskipun terdapat beberapa pasar modern di
sekitarnya. Pihak pengembang perumahan dan pemda setempat bekerja sama mengelola
pasar tradisional tersebut. Pasar tradisional ini tampak bersih, aman, dan memiliki lahan
parkir luas serta fasilitas yang memadai. Pasar ini juga berhasil menerapkan desain
bangunan berlantai satu dengan batas plafon yang tinggi agar sirkulasi udaranya
mencukupi. Ini membuktikan bahwa pasar tradisional yang kompetitif dapat bersaing dan
hadir berdampingan dengan supermarket.
Untuk menjamin keberadaan lingkungan pasar tradisional yang baik, kebijakankebijakan
yang akan membantu meningkatkan daya saing pasar tradisional harus
diciptakan dan dilaksanakan. Pertama, memperbaiki infrastrukturnya. Ini mencakup
jaminan tingkat kesehatan dan kebersihan yang layak, penerangan yang cukup, dan
lingkungan keseluruhan yang nyaman. Contohnya, konstruksi bangunan pasar berlantai
dua tidak disukai di kalangan pedagang karena para pelanggan enggan untuk naik dan
berbelanja di lantai dua.



KESIMPULAN

Untuk itu, pemda dan pengelola pasar tradisional swasta harus melihat pasar tradisional
bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan. Keduanya harus melakukan investasi
dalam pengembangan pasar tradisional dan menetapkan standar minimum pelayanan.
Hal ini pun mensyaratkan pengangkatan orang-orang berkualitas sebagai pengelola pasar
dan memberikan mereka wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan sehingga
mereka tidak hanya bertindak sebagai pengumpul retribusi semata. Tidak kalah penting
adalah peningkatan kinerja pengelola pasar dengan menyediakan pelatihan atau evaluasi
berkala. Selanjutnya, pengelola pasar harus secara konsisten berkoordinasi dengan para
pedagang untuk mendapatkan pengelolaan pasar yang lebih baik. Kerja sama antara
pemda dan sektor swasta seperti yang terjadi di kawasan BSD dapat menjadi contoh
solusi untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional.
Kedua, pemda perlu mengorganisasi para PKL, baik dengan menyediakan kios/lapak di
dalam pasar tradisonal ataupun dengan mengeluarkan aturan hukum yang melarang PKL
membuka lapak di sekitar pasar tradisional. Adalah sangat penting untuk mencegah agar
para PKL tidak menghalangi area pintu masuk pasar.
Rekomendasi ketiga bertalian dengan para pedagang sendiri. Kebanyakan pedagang harus
membayar tunai kepada para pemasok barang dan menggunakan dana sendiri. Hal ini
menghambat ekspansi usahanya, selain juga berarti bahwa para pedagang dibebankan
seluruh risiko ketika menjalankan bisnisnya. Mengingat bahwa tidaklah lazim untuk
mengasuransi kegiatan bisnis, posisi pedagang menjadi kian rentan, bahkan terhadap
guncangan kecil sekali pun. Oleh karena itu, kajian mengenai jenis asuransi yang cocok
bagi pedagang layak dilakukan dan sekaligus membantu mereka bila membutuhkan
modal tambahan untuk perluasan usahanya.
Terakhir, kondisi yang tersingkap dalam studi ini menunjukkan perlunya regulasi yang
sistematis mengenai pasar modern, termasuk yang menyangkut isu hak dan tanggung
jawab pengelola pasar dan pemda, dan juga sanksi atas pelanggaran aturan tersebut.
Walaupun beberapa pemda menganggap penting untuk memiliki peraturan yang
terpisah, perbaikan pada peraturan yang ada sebenarnya sudah cukup memadai. Selain
itu, baik pemerintah pusat maupun daerah seyogianya bertindak tegas sesuai aturan yang
berlaku. Terlebih lagi, yang terpenting adalah menjamin bahwa aturan tersebut dipahami
oleh para pemangku kepentingan. Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki
mekanisme kontrol dan sistem pemantauan untuk menjamin kompetisi yang sehat antara

0 comments:

Post a Comment